Disarikan dari berbagai Sumber Oleh Minto Basuki (Pemerhati Konservasi)
|
Lokasi Tounggak Jati Petruk, Donolyo |
Pada
jaman para wali sanga, kira-kira abad 15, pada
waktu itu Raden Patah penguasa Kerajaan Demak Bintoro berkeinginan mendirikan
sebuah masjid. Atas usul Sunan Kalijaga salah satu Wali Songo yang mempunyai
kuwajiban siar agama Islam pada waktu itu,
agar saka guru (tiang utama) masjid dibuat dari kayu jati pilihan.
Sehingga Raden patah memerintahkan Sunan Kalijaga mencari kayu jati yang bagus
untuk bangunan masjid. Mendapat perintah tersebut Sunan Kalijaga dan para
santrinya berangkat mencari kayu jati pilihan yang dikehendaki Raden Patah. Perjalanan
Sunan Kalijaga dan para santrinya menuju kea rah selatan. Setelah sampai di
wilayah Wonogiri, Sunan Kalijaga dan para santrinya mendapat khabar bahwa di
wilayah itu memang terdapat ada seseorang yang punya kebun jati pilihan,
pohonnya lurus-lurus, kukuh, kuat dan tahan terhadap serangan rayap. Setelah di
cari tahu ternyata yang punya kebun jati pilihan tersebut adalah Kiyai
Donoloyo, orang yang senang tirakat dan tapa brata.
|
Ki Ageng Donoloyo (tempat Tonggak Jati Petruk) |
Karena
belum tahu dimana arah dan letak tempat tinggal Kyai Donoloyo maka Sunan
Kalijaga bertanya pada orang-orang di sekitar wilayah tersebut. Namun karena
waktu sudah masuk menjelang malam maka Sunan Kalijaga dan para santrinya
istirahat di suatu tempat yang terletak di ketinggian yang berupa hutan kecil
dengan ditumbuhi banyak pohon jati yang juga cukup baik kualitasnya. Sunan
Kalijaga dan para Santrinya bermusyawarah, bagaimana kalau di daerah tersebut
di bangun masjid dengan menggunakan kayu jati yang ada di situ. Setelah ditanya
pada warga di sekitar, hutan jati
tersebut memang tidak ada yang punya. Pada akhirnya para santri dan Sunan
Kalijaga membangun masjid di daerah tersebut yang dibantu para warga yang
tinggal disekitar hutan, secara bergotong royong. Demikian juga Sunan Kalijaga
melakukan siar agama Islam dengan mengajari para warga shalat dan syariat Islam
lainnya. Setelah jaman kemerdekaan, desa itu disebut Desa Wonokerso, yang
berasal dari kata wono dan kerso, wono berarti hutan dan kersa berarti ingin
atau yang diinginkan oleh Sunan Kalijaga. Jadi desa Wonokersa itu mempunyai
makna hutan yang kayu jatinya diinginkan Sunan Kalijaga. Desa tersebut terletak
di wilayah Kecamatan Baturetno, Kabupaten Wonogiri. Menurut cerita bibit pohon
jati di desa Wonokersa berasal dari Donoloyo yang terbawa dan tercecer dari
tongkatnya Kyai Wonoboyo (konon cerita, Kyai Wonoboyo adalah ipar Kyai Donoloyo
yang pada waktu itu mencuri bibit pohon jati Kyai Donoloyo dan dimasukkan
melalui tongkatnya).Menurut cerita pula bentuk bangunan masjid di desa
Wonokersa itu mirip dengan bangunan masjid Demak.
Sunan
Kalijaga dan para Santrinya tinggal di daerah itu untuk beberapa waktu lamanya,
hingga pada suatu malam setelah shalat isak, ketika Sunan Kalijaga duduk di
serambi masjid, dari kejauhan terlihat sebuah pohon yang tinggi sekali yang
tingginya melebihi pohon-pohon di sekitarnya. Melihat hal itu Sunan Kalijaga
berpikir dan memperkirakan kalau pohon itu kuat dan berkualitas baik, dan Sunan
Kalijaga berkeinginan besok pagi akan ke tempat pohon tinggi itu tumbuh. Malam
itu juga Sunan Kalijaga mencari tahu dan bertanya pada warga sekitar dimana
keberadaan pohon tinggi itu berada. Sunan Kalijaga bertanya pada warga :”Itu
ada pohon tinggi sekali seperti Petruk (salah satu punakawan di dunia
pewayangan), dimana tempatnya dan siapa yang punya?”. Pertanyaan Sunan kalijaga
dijawab dengan lancer oleh warga di situ karena para warga memang sudah tahu
dan hafal, bahwa kayu jati itu miliknya Kyai Donoloyo. Demikian halnya Sunan
Kalijaga setelah mendapat jawaban tersebut pada keesokan harinya bersama para
Santrinya berpamitan meninggalkan desa itu dengan niat menuju ke tempat tinggal
Kyai Donoloyo. Setelah
perjalanan beberap waktu lamanya, akhirnya Sunan Kalijaga bertemu dengan Kyai
Donoloyo. Sunan Kalijaga menyampaikan maksud dan tujuannya berjalan dari Demak
sampai ke wilayah Donoloyo tersebut. Sunan Kalijaga minta ijin kepada Kyai
Donoloyo agar bias diberi pohon jati yang paling tinggi yang sudah disebut
sebagai “Jati Petruk”. Tahu yang meminta adalah Sunan Kalijaga dan kayu jati
itu akan digunakan untuk keperluan yang luhur, yaitu untuk masjid Demak, maka
sudah barang tentu Kyai Donoloyo memberikannya. Pohon jati tersebut kemudian
ditebang dan dibagi empat agar memudahkan apabila nanti untuk saka guru masjid.
Pohon jati tersebut dipindah dari Donoloyo melalui Wonogiri ke Demak dengan
cara dihanyutkan melalui sungai Bengawan Solo.
|
Juru Kunci dan warga yang berziarah |
Pada
waktu pohon jati itu mau di hanyutkan di Bengawan Solo, Sunan Kalijaga kaget
melihat kenyataan yang mengherankan karena potongan kayu jati itu tidak mau
hanyut. Ketika kayu jati itu dibawa ke tengah bengawan, tidak berapa lama
potongan kayu jati itu kembali ke pinggir bengawan, demikian berulang-ulang
terjadi. Melihat kenyataan itu Kyai Donoloyo mendekat dan mengatakan agar
potongan kayu jati itu ditunda semalam, baru besoknya dihanyutkan. Malam
harinya Kyai Donoloyo menggelar kesenian ledhek (kesenian tradisional di Jawa)
semalam suntuk, dan ternyata pagi harinya empat potongan pohon jati tersebut
bisa dihanyutkan di Bengawan Solo sampai ke wilayah Demak, dan akhirnya bisa
digunakan sebagai saka guru masjid Demak, yang sampai sekarang masih kokoh dan
utuh. Karena pohon jati Petruk tadi mempunyai nilai spiritual, maka sampai
sekarang masih dikeramatkan oleh beberapa orang yang meyakininya. Pada saat ini
tunggak pohon Jati Petruk dan sisa potongan pohonnya, diberi cungkup (rumah
kecil biasa digunakan di kuburan (makam) di Jawa dan dikeramatkan sampai dengan
saat ini, utamanya para petinggi Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan beberapa
warga yang masih meyakininya.
Disarikan dari beberapa narasumber oleh Minto Basuki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar